Mengarah.com, Banten – Jatuh cinta, siapa yang tidak tahu dengan dua kata tersebut? Kalimat yang selalu memiliki arti yang sama di pendengaran orang orang dengan penafsiran yang berbeda beda pula.
Usia usia remaja dari mulai usia 11-17 tahun hingga usia dewasa selalu tidak asing dengan kata jatuh cinta. Perasaan yang membuat jantung berdebar lebih cepat, melayang dan juga lemas tidak karuan serta efek samping salting alias salah tingkah lainnya.
Namun tahukah kamu, kalau ternyata ada resiko dari jatuh cinta? Yaps betul, patah hati atau putus cinta.
Menurut Yuwanto (2011), putus cinta adalah kejadian berakhirnya suatu hubungan cinta yang telah dijalin dengan pasangannya, sedangkan Menurut Yuwanto (2011), putus cinta adalah kejadian berakhirnya suatu hubungan cinta yang telah dijalin dengan pasangannya.
Ada beberapa reaksi saat mengalami putus cinta: Shock (kondisi kaget atau tidak menduga), Encounter reaction (perasaan kehilangan, pikiran kacau dan sedih), Retreat (reaksi penolakan, saat mengalami putus cinta).
Dari definisinya saja sudah terlihat kan bagaimana kacau balaunya putus cinta? Secara tidak kita sadari, putus cinta dapat beresiko mengganggu kesehatan mental kita loohh apalagi soal emosi. Kenapa?
Sebagian remaja kususnya pada remaja akhir saat mengalami putus cinta ada yang mampu mengontrol emosinya dan ada yang kurang mampu mengontrol emosi. Remaja akhir yang mampu mengontrol tidak mengalami stres dan mampu menjalani kehidupan sosialnya sengan baik.
Berbeda dengan remaja akhir yang kurang mampu mengontrol emosinya.Terlebih-lebih bagi remaja akhir saat berpacaran sudah melakukan hubungan seks ada perasaan benci dan marah atas pemutusan hubungan oleh pasangannya.
Dalam menghadapi persoalan putus cinta individu akan mengalami yang namanya emosi. Individu mampu mengekspresikan suasana hati yang dialaminya yang disebabkan oleh stimulus tertentu dari permasalahannya.
Ketika disaat seorang individu merasakan emosi dalam bentuk bahagia, dia akan mengekspresikannya dalam bentuk bahagia, jika individu merasakan emosi marah, dia dapat saja mengekspresikan suasana hatinya dengan membanting barang-barang di sekitarnya.
Secara tidak langsung, jika dalam fase ini terjadi dalam kurun waktu yang lamaa tanpa kita sadari emosi kita menjadi tidak stabil, mudah marah, mudah merasa tersinggung bahkan semua yang orang lakukan dihadapan kita terlihat salah.
Tanpa kita sadari, secara terlintas kita dapat masuk kedalam golongan ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan)
Apa sih itu ODMK? Berbedakah dengan ODGJ? jelas berbeda, ODMK sendiri adalah individu yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembang, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.
Lalu, bagaimana mengatasi itu semua? Jelas dengan coping stress. Seperti, strategi coping yang fokus pada masalah (problem focused coping) ditunjukkan dengan perilaku seperti mencari pacar baru, menyusun langkah-langkah penyelesaian masalah secara mandiri, meminta masukan kepada teman atau saudara, dan melakukan penyelesaian masalah dengan mantan.
Kemudian bentuk perilaku coping yang fokus pada emosi (emotion focused coping) ditunjukkan dengan perilaku subjek yang menghindari masalah dengan cara mencari hiburan seperti jalan-jalan dengan teman, mencari kesibukan, atau dengan mendengarkan musik.
Lalu bentuk perilaku lainnya seperti menyalahkan diri sendiri dan meminta maaf, dapat memperbaiki diri, mengambil arti dari putus cinta, serta dapat mengambil hikmah dari masalah putus cinta tersebut.
Berbagai strategi coping tersebut dipaparkam melalui ada yang belum sepenuhnya melupakan mantan, masih membenci mantan, dan merasa masalahnya belum selesai, tetapi adapula yang merasa masalahnya sudah benar-benar selesai.
Penulis : @Cantika