Mengarah.com, Palangka Raya – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah segala bentuk acaman, pelecehan, dan kekerasan antara dua orang yang terkait dalam hubungan pernikahan atau anggota keluarga lain, misalnya anak. Hal ini merupakan salah satu dari bentuk hubungan abusives dan toxic yang cukup sering terjadi.
Sebagian korban KDRT adalah kaum perempuan (isteri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Faktor penyebab terjadinya KDRT sangat kompleks, dan secara garis besar dibagi menjadi empat, yaitu:
- Karakter pribadi pelaku KDRT yang bermoral rendah, seperti; pemabuk, frustasi, kelainan jiwa, penjudi, dan terlibat NARKOBA.
- Kondisi korban yang memancing terjadinya KDRT, seperti; suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada isteri, isteri tidak berpengertian kepada suami, isteri yang sengaja berperilaku hingga suaminya marah.
- Keadaan rumah tangga yang sudah mencapai titik rentan sehingga kondusif untuk terjadinya KDRT, seperti; perselingkuhan, suami isteri selalu bertengkar terus-menerus (syiqaq), sudah tidak ada kepercayaan, salah satu pasangan sudah tidak merasa aman.
- Faktor luar yang turut mendukung terjadinya KDRT, seperti; kebijakan pemerintah, budaya patriarkhal yang didukung oleh struktur sosial masyarakat, kebiasaan masyarakat yang mendorong para isteri agar bergantung kepada suami secara ekonomi dan kekeliruan dalam memahami ajaran agama.
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Islam
Islam merupakan agama yang mengusung perdamaian dan anti kekerasan. Ketika suatu kekerasan terjadi dipastikan keharmonisan keluarga akan terkoyak dan berbagai prahara tidak terelakkan. Batin menderita lantaran orang yang semestinya mencurahkan segala cinta dan perhatian justru bisa berbanding terbalik 180 derajat dengan melakukan kezaliman dalam ucapan maupun perbuatan.

Diantara dari wujud KDRT hal yang terkadang terlupakan diantara kaum muslimin adalah perasaan benci kepada pasangan. Seperti seorang suami menzalimi isterinya dengan ucapan yang pedas, bersikap kasar dan terlalu menuntut kesempurnaan dari pasnagannya. Dan dia melupakan bahwa isteri pun memiliki kelebihan disamping kelemahan yang memang setiap orang tidak lepas dari hal tersebut.
Seorang isteri terkadang bisa melakukan praktek yang dikategorikan KDRT yaitu tanpa ia sadari seperti meluapkan dan tidak bersyukur akan kebaikan suami. Dia menuntut sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allah tidak akan melihat isteri yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal ia selalu membutuhkannya.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Al Hakim dan lain-lain. Lihat As Silsilah as-shahiihah (I/581) (289) dan shahiih at-targhiib wat-Tarhiib (II/198), (1944).
KDRT dalam islam bersumber pada Alquran dan Sunnah dengan jelas menggambarkan hubungan antara pasangan dan juga hubungan suami isteri. Alquran mengatakan bahwa hubungan itu didasarkan pada ketentraman, cinta tanpa syarat, kelembutan, perlindungan, dukungan, kedamaian, kebaikan, kenyamanan, keadilan, dan balas kasih.
KDRT dalam islam terhadap seorang perempuan juga dilarangan karena bertentangan dengan hukum islam, khususnya tentang kehidupan dan akal, dan perintah Alquran tentang kebenaran dan perlakuan baik. Namun, banyak yang salah dalam memahami salah satu ayat al-quran terkait ini.
Allah ta’ala berfirman
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (An-nisa: 34).
Nusyuz secara Bahasa adalah bentuk Masdar dari kata nasyaza yang berarti tanah yang tersembul tinggi ke atas. Sedangkan secara terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian diantaranya
- Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan ketidak senangan yang terjadi di antara suami-isteri
- Fuqaha Malikiyah memberi pengertian nusyuz sebagai permusuhan yang terjadi yang terjadi di antara suami-isteri
- Ulama Syafi’iyyah, nusyuz adalah perselisihan yang terjadi di antara suami-isteri
Berdasarkan dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa diperbolehkan memukul isteri jika melakukan nusyuz. Meskipun demikian, ayat diatas harus di pahami secara komprehensif. Bahwa bagi para perempuan yang dikhwatirkan berbuat nusyuz, maka terlebih dahulu nasehatilah mereka, kemudian dipisahkan ranjang mereka dan terakhir boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyebabkan luka. Ayat ini pun diawali dengan pernyataan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Dalam Hukum Nasional
Berdasarkan dari ayat yang dikutip diatas tersebut juga berakibat pada beberapa konsekuensi hukum.
Pertama, teks-teks tersebut seakan-akan dan bahkan melegalkan kekerasan dalam hukum islam sebagai mana pada kasus nusyuz tersebut. Sehingga nantinya umat islam akan mengalami kebimbangan dalam posisinya, disatu sisi ada teks-teks yang berbicara mengenai kekerasan dalam keluarga dan secara empiris itu terjadi pada waktu itu, akan tetapi di sisi lain ia sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman, apalgi dalam sistem negara hukum seperti Indonesia ini.
Kedua, dalam konteks hukum positif, kekerasan meliputi kekerasan berupa fisik dan psikologi/jiwa, sehingga para pelanggarnya tetap harus ditindak sesuai prosedur hukum yang berlaku karena negara Indonesia dalam hal ini sudah mengatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang PDKRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Dalam pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdapat dalam undang-undang No.23 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (1), menyatakan.
“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual pisikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”
Dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT merupakan suatu hukum publik yang didalamnya terdapat ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas yaitu khususnya kaum laki-laki, dalam kedudukannya sebagai kepala keluarga alangkah baiknya mengetahui ap aitu kekerasan dalam rumag tangga (KDRT).
Adapun bagi para korban dari KDRT, undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat dituntut kepada pelakunya, antaralain sebagai berikut
- Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
- Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ;
- Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ;
- Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; da
- Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, merupakan sesuatu ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga prosedur penanganan perkara, perlindungan terhadap korban dan sanksi bagi para pelakunya. Undang-Undang ini dilegislasikan dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, bahwa setiap warga berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan suami.
Kedua, bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Ketiga, bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan perempuan, harus mendapatkan perlindungan dari negara dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Keempat, bahwa dalam kenyatannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjdi, sedangkan sistem hukum Indonesia belum menjamin akan adanya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
- Kesimpulan
Konsep nusyuz istri terhadap suami yang dirumuskan ulama terdahulu sebagaimana ketidaktaatan istri terhadap suami yang meliputi keluar rumah tanpa izin dan lain-lain, perlu ditinjau Kembali. Karena ini juga akan berimplikasi pada akibat hukum.
Kemudian Hukum Islam tidak melegalkan kekerasan terhadap istri. Pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyuz sebagaimana yang termuat dalam Q.S al-Nisa [4] : 34 hendaknya dimaknai sebagai tindakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk menyakiti bahkan berbuat kekerasan.
Pemukulan yang dilakukan dalam kasus nusyuz pada dasarnya tidak boleh melukai. Sementara tindakan suami yang memukul istri hingga luka atau kekerasan suami terhadap istri dapat dinyatakan sebagai nusyuz suami terhadap istri.
Sedangkan dalam hukum positif Indonesia bertujuan untuk menghapus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal ini terbukti dengan adanya regulasi UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dengan adanya suatu regulasi yang mengatur KDRT tersebut untuk memberikan rasa aman dalam berumah tangga sehingga dapat menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.
Hal ini, sudah di jamin oleh negara dalam Regulasi Undang-Undang seperti yang dikutip di atas. Untuk menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga dan mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan atau menghapuskan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.